04 September 2012
..Ukkhuwah Islamiyah..
Dari Abu Hamzah, Anas bin Mâlik Radhiyallahu 'anhu, dari
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Tidak sempurna iman
seseorang di antara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya segala apa yang
ia cintai untuk dirinya sendiri berupa kebaikan”. [HR al-Bukhâri dan Muslim]
TAKHRIJ HADITH
Hadits ini shahîh, diriwayatkan oleh:
1. Al-Bukhâri (no. 13).
2. Muslim (no. 45).
3. Ahmad (III/176, 206, 251, 272, 289).
4. Abu ‘Awanah (I/33).
5. At-Tirmidzi (no. 2515).
6. Ibnu Majah (no. 66).
7. An-Nasa`i (VIII/115).
8. Darimi (II/307).
9. Abu Ya’la (no. 2880, 3171, 3069, 3245).
10. Ibnu Hibban (no. 234, 235).
Hadits di atas dikeluarkan oleh al-Bukhâri dan Muslim
dalam kitab Shahîh keduanya, dari hadits Qatadah, dari Anas; sedangkan lafazh
milik Muslim berbunyi:
حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ ، أَوْ قَالَ : لِجَارِهِ.
"Hingga ia mencintai untuk saudaranya; atau beliau
bersabda: Untuk tetangganya "
Dan Ahmad, Ibnu Hibban, dan Abu Ya’la mengeluarkan pula
hadits yang semakna dengan lafazh:
لاَ يَبْلُغُ عَبْدٌ حَقِيْقَةَ اْلإِيْمَانِ حَتَّى يُحِبَّ
لِلنَّاسِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ مِنَ الْخَيْرِ.
"Seorang hamba tidak dapat mencapai hakikat iman,
hingga ia mencintai kebaikan untuk manusia seperti yang ia cintai untuk
dirinya."
SYARAH HADITH
Syaikh al-Albâni rahimahulllah berkata, “Ketahuilah bahwa
tambahan ini مِنَ الْخَيْرِ (berupa kebaikan), adalah tambahan yang sangat
penting yang dapat menentukan makna yang dimaksud dalam hadits ini, karena kata
“kebaikan” adalah satu kata yang mencakup berbagai amal ketaatan dan perbuatan
mubah, baik dalam masalah dunia maupun akhirat -selain yang dilarang karena
kata “kebaikan” tidak mencakupnya- sebagaimana sudah jelas. Salah satu
kesempurnaan akhlak seorang muslim, ialah ia mencintai kebaikan untuk
saudaranya sesama muslim, seperti yang ia cintai untuk dirinya sendiri.
Demikian pula ia membenci kejelekan untuk saudaranya, seperti kebenciannya
untuk dirinya sendiri. Meskipun hal ini tidak disebutkan dalam hadits, namun
ini termasuk dalam kandungannya karena mencintai sesuatu mengharuskan membenci
sesuatu yang menjadi lawannya.”[1]
Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengatakan
[2]: “Riwayat Imam Ahmad rahimahullah di atas menjelaskan hadits yang
diriwayatkan oleh al-Bukhâri dan Muslim, dan bahwa yang dimaksud dengan tidak
beriman ialah tidak mencapai hakikat dan puncak iman karena iman seringkali
dianggap tidak ada karena ketiadaan rukun-rukun dan kewajiban-kewajibannya,
seperti sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
لاَ يِزْنِي الزَّانِي حِيْنَ يَزْنِي وَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَلاَ
يَسْرِقُ السَّارِقُ حِيْنَ يَسْرِقُ وَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَلاَ يَشْرَبُ الْخَمْرَ حِيْنَ
يَشْرَبُهَا وَهُوَ مُؤْمَنٌ.
"Pezina tidak berzina ketika ia berzina sedang ia
dalam keadaan mukmin; pencuri tidak mencuri ketika ia mencuri sedang ia dalam
keadaan mukmin; dan orang tidak minum minuman keras ketika ia meminumnya sedang
ia dalam keadaan beriman" [3]
Juga seperti sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam:
لاَ يُؤْمِنُ مَنْ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ.
"Tidak beriman orang yang tetangganya tidak merasa
aman dari gangguan-gangguannya" [4]
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata,“Para ulama
mengatakan bahwa maknanya ialah tidak beriman dengan iman yang sempurna, karena
pokok iman itu ada pada orang yang tidak memiliki sifat ini”.[5]
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani t berkata, “Yang
dimaksud ialah dinafikannya kesempurnaan iman. Penafian nama sesuatu dengan
makna menafikan kesempurnaannya telah masyhur dalam dialek bangsa Arab, seperti
perkataan mereka, ‘Si fulan itu bukan manusia’.” [6] Maksudnya, dinafikan salah
satu sifatnya.
Al-Hafizh ‘Amr bin Shalah rahimahullah mengatakan,
“Maknanya, tidak sempurna iman seseorang hingga ia mencintai untuk saudara
semuslim seperti ia mencintai untuk dirinya sendiri”.[7]
Para ulama berbeda pendapat tentang pelaku dosa besar;
apakah dia dinamakan mukmin yang kurang imannya atau tidak dikatakan mukmin?
Sesungguhnya yang benar dikatakan: dia muslim dan bukan mukmin menurut salah
satu dari dua pendapat, dan kedua pendapat tersebut diriwayatkan dari Imam
Ahmad, atau ia mukmin dengan imannya dan fasik dengan dosa besarnya.
Adapun orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil, iman tidak
hilang dari dirinya secara total, namun ia orang mukmin yang kurang beriman dan
imannya berkurang sesuai dengan kadar dosa kecil yang ia kerjakan.
Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa pelaku dosa
besar dinamakan seorang mukmin yang kurang imannya diriwayatkan dari Jabir bin
‘Abdillah Radhiyallahu 'anhu, dan merupakan pendapat Ibnul-Mubarak, Ishaq, Ibnu
‘Ubaid, dan selain mereka.
Maksud hadits di atas ialah di antara sifat iman yang
wajib, adalah seseorang mencintai untuk saudaranya yang mukmin apa yang ia
cintai untuk dirinya dan membenci untuknya apa yang ia benci untuk dirinya
sendiri. Jika sifat tersebut hilang darinya, maka imannya berkurang.[8]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحَبَّ لِلَّهِ وَأَبْغَضَ لِلَّهِ وَأَعْطَى لِلَّهِ
وَمَنَعَ لِلَّهِ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ اْلإِيْمَانُ.
"Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci karena
Allah, memberi karena Allah, dan menahan (tidak memberi) karena Allah, maka
sungguh, telah sempurna imannya".[9]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ وَيُدْخَلَ الْجَنَّةَ
فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ، وَلْيَأْتِ
إِلَى النَّاسِ الَّذِيْ يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ.
"Barang siapa ingin dijauhkan dari neraka dan
dimasukkan ke dalam surga, maka hendaklah ia mati dalam keadaan beriman kepada
Allah dan hari Akhir, dan hendaklah ia menunaikan dan berbuat (kebaikan) kepada
orang lain apa yang ia senang bila orang lain (berbuat baik)
kepadanya".[10]
Dalam Shahîh Muslim juga disebutkan dari hadits Abu Dzarr
Radhiyallahu 'anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
kepadaku:
يَا أَبَا ذَرٍّ! إِنِّي أَرَاكَ ضَعِيْفًا، وَإِنِّي أُحِبُّ
لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِيْ، لاَ تَتَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ، وَلاَ تَوَلَّيَنَّ
مَالَ يَتِيْمٍ.
"Wahai, Abu Dzarr! Sungguh, aku melihat engkau
sebagai orang yang lemah dan aku mencintai untuk dirimu apa yang aku cintai
untuk diriku. Janganlah engkau memimpin dua orang, dan jangan pula memegang
harta anak yatim”.[11]
Dari an-Nu’man bin Basyir dari Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam, beliau bersabda:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ،
مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ
وَالْحُمَّى.
"Perumpamaan kaum mukminin dalam cinta-mencintai,
sayang-menyayangi dan bahu-membahu, seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota
tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit
juga, dengan tidak bisa tidur dan demam".[12]
Ini menunjukkan, bahwa orang mukmin terganggu dengan apa
saja yang mengganggu saudaranya yang mukmin dan sedih oleh apa saja yang
membuat saudaranya sedih.
Dan hadits Anas Radhiyallahu 'anhu yang sedang kita
bicarakan ini menunjukkan, bahwa orang mukmin dibuat gembira oleh sesuatu yang
membuat gembira saudaranya yang mukmin dan menginginkan kebaikan untuk
saudaranya yang mukmin seperti yang ia inginkan untuk dirinya sendiri. Ini
semua terjadi karena seorang mukmin hatinya harus bersih dari dengki, penipuan,
dan hasad. Hasad membuat pelakunya tidak mau diungguli siapa pun dalam kebaikan
atau diimbangi di dalamnya, karena orang yang hasad senang lebih unggul atas
seluruh kelebihannya dan ia sendiri yang memilikinya tanpa siapa pun dari
manusia.
Sedangkan iman menghendaki kebalikannya yaitu agar ia
diikuti seluruh kaum mukminin dalam kebaikan yang diberikan Allah kepadanya
tanpa mengurangi sedikit pun kebaikannya.[13]
Dalam Al-Qur`ân Allah Ta’ala memuji orang-orang yang
tidak ingin sombong dan tidak membuat kerusakan di bumi. Allah Ta’ala
berfirman:
"Negeri akhirat itu Kami jadikan bagi orang-orang
yang tidak menyombongkan diri dan tidak membuat kerusakan di bumi. Dan
kesudahan (yang baik) itu bagi orang-orang yang
bertakwa".[al-Qashshash/28:83].
Mengenai ayat ini, ‘Ikrimah dan selainnya dari para ahli
tafsir mengatakan: “Maksud dari kata al-‘uluwwu fil ardhi, ialah sombong,
mencari kehormatan, dan kedudukan pada pemiliknya. Sedangkan maksud al-fasâd,
ialah mengerjakan berbagai kemaksiatan”.[14]
Ada dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak ingin
disaingi orang lain dalam ketampanan itu tidak berdosa.
Imam Ahmad dan al-Hakim dalam Shahîh-nya dari hadits Ibnu
Mas’ud, ia berkata: “Aku datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
dan ketika itu Malik bin Mirarah ar-Rahawi berada di tempat beliau. Aku dapati
Malik bin Murarah ar-Rahawi berkata, ‘Wahai Rasulullah! Aku telah diberi
ketampanan seperti yang telah engkau lihat; oleh karena itu, aku tidak ingin
salah seorang manusia mengungguliku dengan tali sandal dan selebihnya, apakah
itu termasuk kezhaliman?’ Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
‘Tidak. Itu tidak termasuk kezhaliman, namun kezhaliman ialah orang yang
sombong.’ Atau beliau bersabda, ‘Namun kezhaliman ialah orang yang menolak
kebenaran dan menghina manusia”.[15]
Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan hadits semakna
dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Di haditsnya disebutkan kata al-kibru (sombong) sebagai ganti dari kata al-baghyu
(kezhaliman). Pada hadits di atas Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak
mengatakan ketidaksukaan Malik bin Murarah untuk disaingi siapa pun dalam
ketampanan sebagai bentuk kezhaliman atau kesombongan. Beliau juga menafsirkan
kesombongan dan kezhaliman dengan arti merendahkan kebenaran, yang tidak lain
adalah sombong terhadapnya dan menolak menerima kebenaran karena sombong jika
kebenaran tersebut bertentangan dengan hawa nafsunya.
Dari sinilah salah seorang ulama Salaf mengatakan:
“Tawadhu`, ialah engkau menerima kebenaran dari siapa pun yang membawanya
kendati yang membawanya adalah anak kecil. Barang siapa menerima kebenaran dari
siapa pun yang membawanya: anak kecil, atau orang dewasa, orang yang
dicintainya, atau orang yang dibencinya, maka ia orang yang tawadhu`. Dan
barang siapa menolak menerima kebenaran karena sombong terhadapnya, maka ia
orang yang sombong”.
Sedangkan menghina manusia dan merendahkan mereka bisa
terjadi dengan cara seseorang melihat pribadinya sebagai orang yang sempurna
dan melihat orang lain sebagai orang yang tidak sempurna.
Kesimpulannya, seorang mukmin harus mencintai untuk kaum
mukminin apa yang ia cintai untuk dirinya dan tidak menyukai untuk mereka apa
yang tidak ia sukai untuk dirinya. Jika ia melihat kekurangan dalam hal agama
pada saudaranya, ia berusaha untuk memperbaikinya.
Salah seorang yang shâlih dari ulama Salaf berkata:
“Orang-orang yang mencintai Allah melihat dengan cahaya Allah, merasa kasihan
dengan orang yang bermaksiat kepada Allah, membenci perbuatan-perbuatan mereka,
merasa kasihan kepada mereka dengan cara menasihati mereka untuk melepaskan
mereka dari perbuatannya, dan menyayangkan badan mereka sendiri jika sampai
terkena neraka”.[17]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللهُ مَالاً
فَهُوَ يُنْفِقُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللهُ الْقُرْآنَ
فَهُوَ يَقْرَؤُهُ آنَاءَ اللَّيْلِ وَآنَاءَ النَّهَارِ.
"Tidak boleh hasad kecuali kepada dua orang: orang
yang diberi harta oleh Allah kemudian ia menginfakkannya di pertengahan malam
dan pertengahan siang dan orang yang diberikan Al-Qur`ân oleh Allah kemudian ia
membacanya di pertengahan malam dan pertengahan siang" [18]
Dan beliau bersabda mengenai orang yang melihat orang
lain menginfakkan hartanya dalam ketaatan kepada Allah, kemudian ia berkata:
لَوْ أَنَّ لِيْ مَالاً لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلاَنٍ . فَهُوَ
بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ .
"Seandainya aku memiliki harta, aku pasti
mengerjakan seperti apa yang dikerjakan si fulan. Ia dengan niatnya itu, maka pahala
keduanya sama".[19]
Adapun dalam hal kelebihan dunia, maka tidak boleh
mengharapkan kelebihan seperti itu karena Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:
Maka keluarlah dia (Qarun) kepada kaumnya dengan kemegahannya. Orang-orang yang
menginginkan kehidupan dunia berkata: "Mudah-mudahan kita memiliki harta
kekayaan seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun, sesungguhnya dia
benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar". Tetapi orang-orang yang
dianugerahi ilmu berkata: "Celakalah kamu! Ketahuilah, pahala Allah lebih
baik bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, dan (pahala yang
besar) itu hanya diperoleh oleh orang-orang yang sabar”.
[al-Qashshash/28:79-80].
Tentang firman Allah Ta’ala.
"(Dan janganlah kalian iri hati terhadap karunia
yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain….)
-Qs. an-Nisâ`/4 ayat 32- yang dimaksud ayat di atas adalah hasad, yaitu
seseorang menginginkan keluarga atau harta seperti yang diberikan kepada
saudaranya, dan berharap semua itu berpindah tangan kepadanya. Ayat di atas
juga ditafsirkan dengan keinginan yang dilarang syari’at dan melawan takdir,
misalnya seorang wanita ingin menjadi laki-laki, atau kaum wanita menginginkan
kelebihan-kelebihan agama seperti yang diberikan kepada kaum laki-laki misalnya
jihad, atau kaum wanita menginginkan kelebihan-kelebihan duniawi seperti yang
dimiliki kaum laki-laki seperti warisan, akal, kesaksian, dan lain sebagainya.
Ada juga yang menyatakan bahwa ayat di atas merangkum itu semua.
Kendati demikian, seorang mukmin harus bersedih karena
tidak memiliki kelebihan-kelebihan agama. Oleh karena itu, dalam agama, seorang
muslim diperintahkan melihat kepada orang yang berada di atasnya dan
berlomba-lomba di dalamnya dengan mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya,
seperti difirmankan Allah Ta’ala:
"…Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang
berlomba-lomba". [al-Muthaffifîn/83:26].
Seorang muslim tidak boleh benci diikuti orang lain dalam
masalah agama. Justru, ia menyukai seluruh manusia terlibat dalam persaingan
dalam kelebihan-kelebihan agama dan menganjurkannya. Dan ingat, semua ini harus
dilakukan semata-mata karena Allah Ta’ala.
Beliau mengisyaratkan bahwa pemberian nasihat kepada
manusia ialah hendaklah seorang mukmin suka kalau manusia berada di atas
kedudukannya. Ini kedudukan dan derajat tertinggi dalam nasihat, namun tidak
diwajibkan. Namun yang diperintahkan dalam syari’at ialah hendaklah seorang
mukmin suka kalau manusia seperti dirinya dalam berbuat kebajikan. Kendati demikian,
jika ada orang yang mengungguli dirinya dalam kelebihan agama, ia berusaha
keras mengejarnya, sedih atas kelalaian dirinya, dan gundah atas
ketertinggalannya dari menyusul orang-orang yang lebih dahulu dalam kebaikan.
Seorang mukmin harus terus melihat dirinya lalai dari
kedudukan tinggi karena sikap seperti itu membuahkan dua hal yang berharga: (1)
berusaha keras dalam mencari keutamaan-keutamaan dan meningkatkannya, dan (2)
ia melihat dirinya sebagai orang yang kurang sempurna. [20]
Jika seseorang mengetahui bahwa Allah memberikan
kelebihan khusus kepada dirinya dan kelebihan itu tidak diberikan Allah kepada
orang lain kemudian ia menceritakannya kepada orang lain untuk kemaslahatan
agama, ia menceritakannya dalam konteks menceritakan nikmat, dan melihat
dirinya lalai dalam bersyukur, maka hal ini diperbolehkan.
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu 'anhuma berkata, “Aku membaca
salah satu ayat Al-Qur`ân kemudian aku ingin seluruh manusia mengetahuinya
seperti yang aku ketahui.”[21]
FAWA`ID HADITH
1. Diperbolehkan menafikan sesuatu karena tidak adanya
kesempurnaan padanya, seperti sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ.
"Tidak ada shalat ketika makanan telah
disajikan".[22]
Maksudnya, shalatnya tidak sempurna, karena hati orang
yang shalat tersebut akan menjadi sibuk oleh makanan yang telah tersaji itu,
dan contoh-contoh seperti ini sangat banyak.
2. Seseorang wajib mencintai untuk saudaranya apa yang ia
cintai untuk dirinya sendiri. Sebab, dinafikannya iman dari orang yang tidak
mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri menunjukkan
wajibnya perbuatan tersebut, karena keimanan tidak boleh dinafikan kecuali
karena hilangnya sesuatu yang wajib padanya atau adanya sesuatu yang menafikan
keimanan tersebut.
3. Termasuk keimanan pula membenci untuk saudaranya apa
yang dibenci untuk dirinya sendiri.
4. Di dalam hadits ini terdapat celaan terhadap sikap
egois, membenci orang lain, hasad dan balas dendam, karena orang yang di dalam
hatinya terdapat semua sifat ini berarti tidak mencintai untuk saudaranya apa
yang ia cintai untuk dirinya sendiri, bahkan ia berharap nikmat yang Allah
berikan pada saudaranya yang beriman itu hilang darinya. Nas-alullâhas-salâmah
wal-‘âfiyah.
5. Setipa mukmin dan mukminah wajib menjauhi sifat hasad
(dengki, iri) dan sifat buruk lainnya karena dapat mengurangi imannya.
6. Hadits ini menunjukkan bahwa iman itu bisa bertambah
dan berkurang; bertambah dengan melakukan ketaatan dan berkurang dengan sebab
melakukan maksiat.
7. Mengamalkan kandungan hadits ini menjadikan
menyebarnya rasa cinta diantara pribadi-pribadi dalam satu masyarakat Islami
dan akan saling tolong-menolong dan bahu-membahu sehingga bagaikan satu tubuh.
8. Mencintai kebaikan untuk seorang muslim merupakan
salah satu cabang keimanan.
9. Berlomba-lomba dalam kebajikan merupakan kesempurnaan
iman.
10. Anjuran untuk mempersatukan hati manusia dan
memperkuat hubungan antara kaum mukminin.
11. Islam bertujuan menciptakan masyarakat yang harmonis
dan penuh kasih sayang.
12. Umat Islam hendaknya menjadi laksana satu bangunan
dan satu tubuh. Ini diambil dari bentuk keimanan yang sempurna yaitu mencintai
untuk saudaranya apa yang dicintai untuk dirinya sendiri. Wallâhu a’lam.
Maraji’:
1. Al-Qur`ân dan terjemahnya.
2. Al-Mu’jamul Kabîr.
3. Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr.
Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
4. Jâmi’ul ‘Ulum wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali.
Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Bâjis.
5. Kutubus-Sab’ah.
6. Musnad Abi ‘Awanah.
7. Musnad Abu Ya’la.
8. Qawâ’id wa Fawâ`id minal-‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya
Nazhim Muhammad Sulthan.
9. Shahîh Ibni Hibban dengan at-Ta’liqâtul-Hisân ‘ala
Shahîh Ibni Hibban.
10. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah.
11. Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad
bin Shâlih al-‘Utsaimin.
12. Syarhus-Sunnah lil-Baghawi.
13. Tafsîr Ibni Jarir ath-Thabari.
14. Dan kitab-kitab lainnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03//Tahun
XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (I/1/155-156).
[2]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/302).
[3]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 2475), Muslim (no. Muslim
no. 57), Ahmad (II/376), dan Ibnu Hibban (no. 186-At-Ta’lîqâtul-Hisân), dari
Sahabat Abu Hurairah.
[4]. Shahîh. HR. Al-Bukhâri (no. 6016), Muslim (no. 46),
dan Ahmad (II/288) dari Sahabat Abu Hurairah.
[5]. Syarah Shahîh Muslim (II/16).
[6]. Fat-hul Bâri (I/57).
[7]. Syarah Shahîh Muslim (II/17).
[8]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikâm (I/303).
[9]. Hasan. HR Abu Dawud (no. 4681) dan al-Baghawi dalam
Syarhus-Sunnah (no. 3469) dari Abu Umamah al-Bahili Radhiyallahu 'anhu . Hadits
ini dihasankan oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilah al-Ahâdîts ash- Shahîhah
(no. 380), dan hadits ini memiliki beberapa syawahid.
[10]. Shahîh. HR Muslim (no. 1844), Ahmad (II/161), Abu
Dawud (no. 4248), an-Nasâ`i (VII/153), dan Ibnu Majah (no. 3956) dari Sahahabat
‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash c .
[11]. Shahîh. HR Muslim (no. 1826), Abu Dawud (no. 2868),
an-Nasâ`i (VI/255), dan Ibnu Hibban (no. 5538-at-Ta’lîqâtul-Hisân).
[12]. Shahîh. HR al-Bukhâri (no. 6011), Muslim (no. 2586)
dan Ahmad (IV/270), dari Sahabat an-Nu’man bin Basyir Radhiyallahu 'anhu ,
lafazh ini milik Muslim.
[13]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/306).
[14]. Lihat Tafsîr ath-Thabari (X/114-115).
[15]. Shahîh. HR Ahmad (I/385) dan al-Hakim (IV/182).
[16]. Sunan Abi Dawud (no. 4092) dengan sanad yang
shahîh.
[17]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/308).
[18]. Shahîh. HR Ahmad (I/385, 432), al-Bukhâri (no. 73),
Muslim (no. 816), Ibnu Majah (no. 4208), dan Ibnu Hibban (no.
90-at-Ta’lîqâtul-Hisân) dari Sahabat Ibnu Mas’ud.
[19]. Shahîh. Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/230-231),
at-Tirmidzi (no. 2325), Ibnu Majah (no. 4228), al-Baihaqi (IV/ 189), al-Baghawi
dalam Syarhus-Sunnah (XIV/289), dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul- Kabir (XXII/
345-346, no. 868-870), dari Sahabat Abu Kabsyah al-Anmari Radhiyallahu 'anhu.
[20]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal-Hikam (I/308-309).
[21]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/310).
[22]. Shahîh. HR Muslim (no. 560).
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas:
Sumber:
Subscribe to:
Posts (Atom)